KRISIS MONETER 1998
Anggota Kelompok :
·
Akhmad Husni
Qordlowi (20215431)
·
Erifa Nurahmawati (22215243)
·
Immawan Ghazy M (23215321)
·
Yohana Fitriyani (27215261)
·
Yulia Crysti Wijaya (27215335)
AWAL MULA KRISIS EKONOMI 1998
Sejak berdirirnya orde baru pada
tahun 1966-1998, terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang
berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar. Krisis pada tahun ini jauh
lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang
pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto
sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan
indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah
menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu
yang panjang.
Ada beberapa sebab terjadinya krisis
ekonomi tahun 1998 diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Stok
hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek yang
telah menciptakan “ketidakstabilan”
2.
Banyaknya
kelemahan dalam sistem perbankan di Indonesia.
3.
Tidak
jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis
berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
4.
Perkembangan
situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada
gilirannya memperbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
5.
Miss
government.
6.
Faktor
utama yang menyebabkan krisis moneter tahun 1998 yaitu faktor politik.
7.
Banyaknya
utang dalam valas (valuta asing), proyek jangka panjang yang dibiayai dengan
utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan
kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya, APBN defisit yang tidak
efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri,
perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative
masih besar, dan seterusnya.
DAMPAK KRISIS MONETER ‘98
Dua puluh tahun pasca krisis ekonomi
1997-1998, pemerintah masih memiliki banyak kewajiban. Salah satunya yakni
membayar hutang akibat krisis tersebut. Menteri Keuangan Sri Mulyani
mengungkapkan, total sisa utang yang masih harus ditanggung pemerintah mencapai
Rp 195 triliun ditambah Rp 49 triliun.
Beban hutang tersebut hanya sebagian dari total biaya yang ditanggung
pemerintah akibat rusaknya sektor keuangan nasional pasca krisis 1997-1998.
Selain itu, masih banyak dampak dari
Krisis Moneter yang kurang baik bagi Indonesia, ini disebabkan karena kurs
nilai tukar valas, khususnya dollar AS, yang melambung tinggi jika dihadapkan
dengan pendapatan masyarakat dalam rupiah tetap. Dampak yang terlihat seperti :
·
Banyak
perusahaan yang terpaksa mem-PHK pekerjanya dengan alasan tidak dapat membayar
upah para pekerjanya. Sehingga menambah angka pengangguran di Indonesia.
Pemerintah kesulitan menutup APBN. Harga barang yang naik cukup tinggi, yang
mengakibatkan masyrakat kesulitan mendapat barang-barang kebutuhan pokok. Htang luar negeri dalam rupiah
melonjak. Harga BBM naik.
·
Kemiskinan
juga termasuk dampak krisis moneter. Pada oktober 1998 jumlah keluarga miskin
diperkirakan sekitar 7.5 juta. Meningkatnya jumlah penduduk yang miskin tidak
terlepas dari jatuhnya nilai mata uang rupiah yang tajam, yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan antara penghasilan yang berkurang akibat PHK atau naik
sedikit dengan pengeluaran yang meningkat tajam karena tingkat inflasi yang
tinggi.
·
Disaat
krisis itu terjadi banyak pejabat yang melakukan korupsi. Sehingga mengurangi
pendapatan para pekerja yang lain. Banyak perusahaan yang meminjam uang pada
perusahaan Negara asing dengan tingkat bunga yang lumayan tinggi, hal itu
menambah beban utang Negara.
Pada sisi lain merosotnya nilai tukar rupiah juga membawa hikmah.
Secara umum impor barang menurun tajam. Sebaliknya arus masuk turis asing akan
lebih besar, daya saing produk dalam negeri dengan tingkat kandungan impor
rendah meningkat sehingga bisa menahan impor dan merangsang ekspor khususnya
yang berbasis pertanian. Namun demikian, dampak dari krisis moneter lebih
banyak yang negative dibandingkan dampak positifnya. Itu dikarenakan krisis ini
mengganggu kesejahteraan masyarakat.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus
Martowardojo menilai, krisis 20 tahun silam itu harus dijadikan pelajaran berharga
bagi bangsa untuk menjaga stabilitas sektor keuangan termasuk perbankan di
dalamnya.
Apalagi saat ini, 71 persen ekonomi
nasional masih dibiayai oleh perbankan. Bahkan, total aset industri jasa
keuangan nasional sudah mencapai Rp 16.000 triliun.
Salah satu upaya untuk menjaga
sektor keuangan adalah memastikan otoritas yang mengawasinya yakni Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dipimpin oleh orang-orang yang memiliki kemampuan dan
integritas tinggi.
ANALISIS
ASPEK HUKUM PENCEGAHAN KRISIS KEUANGAN
Kementerian
Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan
Bank Indonesia kembali menjelaskan perihal Undang-Undang No. 9 tahun 2016
tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Kepala
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, UU ini
dapat mempercepat proses restorasi sistem saat negara dilanda krisis keuangan.
Berikut
beberapa hal yang perlu diketahui tentang UU ini:
1. Komite Stabilitas Sistem Keuangan
(KSSK)
Salah
satu yang tercantum dalam UU ini adalah pembentukan Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK). Komite yang terdiri dari Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan
LPS ini akan mengadakan rapat rutin setiap tiga bulan untuk menentukan status
sistem keuangan.
2. Presiden tetapkan krisis
Presiden
merupakan pihak yang berhak untuk menetapkan kondisi krisis. "Penetapan
status krisis direkomendasikan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan
ditetapkan oleh Presiden," kata Suahasil. Namun, bukan berarti presiden harus
menetapkan sesuai rekomendasi. Suahasil mengatakan presiden boleh saja
mengumumkan hal yang berbeda.
3. Kewenangan masing-masing lembaga
Kementerian
Keuangan mengevaluasi sebagai otoritas fiskal dan pengelola keuangan negara. BI
adalah evaluator otoritas moneter dan pengelola sistem pembayaran. Sementara
itu, OJK mengevaluasi sebagai regulator dan supervisor industri jasa keuangan,
sedangkan LPS sebagai pelaksana program penjaminan simpanan dan otoritas
resolusi bank.
4. Restrukturasi perbankan
Setelah
menerima rekomendasi KSSK, presiden dapat menetapkan program restrukturasi
perbankan. Jadi, jika terdapat bank yang gagal saat krisis, tak perlu
menggunakan bail out atau menggunakan dana APBN. Bank harus menolong dirinya
sendiri.
5. Imunitas anggota KSSK
Hal
ini tertuang dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UU PPKSK. Anggota KSSK juga akan
mendapat bantuan hukum apabila menghadapi tuntutan hukum. Dalam UU yang disusun
selama 8 tahun lebih itu, tercantum pula ketentuan bahwa keputusan yang
ditetapkan oleh KSSK dan juga pelaksanaan dari keputusan tersebut oleh setiap
anggota KSSK merupakan keputusan yang sah dan mengikat setiap pihak yang
bersangkutan.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar