Tulisan 8 : Promosi dan Pemindahan
Promosi dan Pemindahan
1.
Jalur Promosi
Kesempatan
untuk maju di dalam organisasi sering disebut sebagai promosi (naik pangkat).
Suatu promosi berarti perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan lain yang
mempunyai status dan tanggung jawab yang cenderung lebih tinggi. Jalur promosi
merupakan sebuah gambaran struktur tingkatan jabatan. Lebih sederhananya lagi
diartikan sebagai sebuah pertanyaan yaitu “selanjutnya jabatan apa yang
levelnya lebih tinggi dari jabatan ini?”.
Pada
umumnya, jalur promosi terbatas pada suatu departemen atau bagian saja. Jadi,
misalnya seorang pejabat di bagian produksi, maksimum hanya bisa naik pangkat
sampai direktur produksi. Perencanaan jalur promosi akan lebih jelas apabila
digambarkan melalui suatu bagan.
2.
Dasar-dasar
Promosi
Menurut
Martoyo (1994:65-66) “Umumnya terdapat dua dasar untuk mempromosikan seseorang,
yakni:a) kecakapan kerja (merit);b) senioritas. Bagi penentu kebijaksanaan
dalam suatu organisasi tentunya lebih cenderung menggunakan kecakapan kerja
atau merit tersebut sebagai dasar suatu promosi. Sebab kompensasi yang baik
adal
ah dasar untuk
kemajuan seseorang. Namun, bagi umumnya anggota organisasi atau pegawai lebih
cenderung pada senioritas. Sebab umumnya mereka berpendapat bahwa dengan makin
lama masa kerja pegawai, kecakapan mereka akan menjadi lebih baik. Mereka pada
umumnya menganggap bahwa dasae kecakapan kerja tersebut masih mengandung
judgement, sehingga dianggap masih belum objektif. Namun ternyata, tidaklah
semudah yang diduga untuk mengukur objektivitas promosi tersebut.” Berdasarkan
uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan bahwa kasus tertentu terdapat pegawai
senior yang dipromosikan terlebih dahulu. Pegawai senior disini dimaksudkan
pegawai yang mempunyai masa kerja paling lama diorganisasi tersebut. Keuntungan
sistem senioritas tersebut, adalah adanya prinsip objektivitas. Pegawai yang
akan dipromosikan, ditentukan berdasarkan catatan senioritas yang ada
diorganisasi.
Walaupun
organisasi telah secara tegas dan jelas mencantumkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi dan melaksanakannya ketentuan untuk promosi tersebut sebaik-baiknya,
tetapi kemungkinan terjadi kesalahan atau kekeliruan dapat saja terjadi, bila
kandidat tersebut pandai dalam mendekati atasan. Dalam kaitan ini berarti
kemungkinan pertimbangan bakat dan kemampuan dapat terkalahkan, sehingga
didapatkan pejabat yang promosi tersebut kurang bias diterima oleh semua pihak.
Dengan
demikian, tidak ada jaminan penuh bahwa pegawai yang dipromosikan benar-benar
memenuhi harapan organisasi. Oleh karena itu, suatu analisis yang matang
mengenai potensi pegawai yang bersangkutan perlu dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Analisis yang demikian menjadi semakin penting apabila
dikaitkan dengan das sains (senyatanya) bahwa kecakapan kerja atau kemampuan
kerja setiap pegawai adalah terbatas. Artinta tidak mustahil bahwa seseorang
pegawai menunjukkan prestasi kerja tinggi pada pekerjaan dan posisinya
sekarang, tetapi karena sebenarnya yang bersangkutan sudah mencapai puncak
kompetensinya, tidak lagi mampu berprestasi hebat pada posisi yang lebih
tinggi. Dalam hal demikian mempromosikan seseorang akan membawa kerugian, bukan
hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga bagi organisasi.
3.
Kecakapan Kerja
“versus” Senioritas
Berbagai
argumentasi tentang kebaikan kecakapan kerja mupun senioritas sering tidak bisa
diputuskan untuk memilih mana yang lebih baik. Misalnya, memang diakui bahwa
semakin lama seorang bekerja pada suatu organisasi, semakin berpengalaman
dia. Namun, kecakapannya akan selalu
meningkat ? masalah seperti ini menjadi lebih sulit, apabila organisasi
dihadapkan pada suatu situasi sehingga memerlukan perubahan (perubahan cara
kerja, organisasi atau hubungan kerja). Mereka yang lebih senior sering justru
sulit untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Mereka sudah terlampau
terbiasa dengan cara kerja lama, misalnya, sehingga sulit memahami cara kerja
baru.
Sebaliknya
penggunaan dasar kecakapan kerja akan menjamin bahwa hanya mereka yang cakaplah
yang bisa dipromosikan. Masalahnya adalah siapa yang menentukan kecakapan ini ?
Bukankah penentuan kecakapan kerja bagaimanapun merupakan suatu penilaian, yang
tidak akan luput dari kesalahan maupun subyektifitas ? Pada umumnya, karyawan
khawatir kalau terjadi masalah “like” dan “dislike” dalam penilaian ini. Karena
itu, di dalam penentuan dasar untuk promosi sering digunakan suatu kompromi
antara dasar kecakapan kerja dan senioritas ini. Komprominya bisa dinyatakan
misalnya dengan : apabila ada para pejabat yang mempunyai kecakapan yang sama,
maka pejabat yang lebih seniorlah yang akan dipromosikan. Atau, apabila ada dua
pejabat yang mempunyai senioritas yang sama, maka pejabat yang lebih cakaplah
yang akan dipromosikan.
Meskipun
demikian cara ini juga mengandung masalah, seperti misalnya, bagaimana kalau
karyawan A lebih senior daripada B, tetapi kalah cakap dibandingkan dengan B.
Siapa yang akan dipromosikan ? Demikian pula sebaliknya. Untuk mengatasi hal
ini, biasanya ditentukanlah persyaratan minimum baik untuk senioritas maupun
untuk kecakapan kerja. Jadi misalnya, untuk dipromosikan ke jabatan X, minimum
kecakapan kerjanya adalah P “point”. Dengan demikian apabila ada dua orang
karyawan yang sama-sama bisa mencapai p point tersebut, maka karyawan yang
lebih seniorlah yang akan dipromosikan.
Bentuk kompromi
untuk dasar kenaikan pangkat, bisa tidak hanya menyangkut masalah kecakapan
kerja dan senioritas saja. Misalnya, untuk tenaga-tenaga pengajar di perguruan
tinggi digunakan berbagai dasar yaitu; di samping masa kerja, adalah bidang
pendidikan dan pengajaran, publikasi ilmiah, pengabdian kepada masyarakat,
loyalitas pada Universitas dan kegiatan lain-lain. Jadi di sini Nampak bahwa
prestasi kerja dijabarkan dalam berbagai faktor yang lebih terperinci. Di
samping kompromi untuk dasar kenaikan pangkat, penggunaan dasar kecakapan kerja
dan senioritas juga digunakan dalam merancang struktur upah. Kompromi antara
kedua dasar tersebut bisa dilihat dalam gambar ini.
Untuk
gambar a, ditunjukkan bahwa senioritas menjadi dasar pengupahannya, baru
ditambah dengan kecakapan untuk bisa mendapatkan gaji yang lebih tinggi.
Sedangkan gambar b menunjukkan bahwa untuk jabatan-jabatan yang hanya
memerlukan keterampilan rendah penggajiannya didasarkan atas senioritas,
sedangkan untuk keterampilan tinggi, didasarkan atas kecakapannya.
4.
Demosi
Demosi adalah penurunan
jabatan dalam suatu instansi yang biasa dikarenakan berbagai hal. Dapat
dipastikan tidak ada seorang pegawai pun yang senang mengalami hal ini. Pada
umumnya demosi dikaitkan dengan pengenaan suatu sanksi disiplin karena berbagai
alasan, seperti :
a.
Penilaian
negatif oleh atasan karena prestasi kerja yang tidak/kurang memuaskan
b.
Perilaku
pegawai yang disfungsional, seperti tingkat kemangkiran yang tinggi
Situasi
lain yang ada kalanya berakibat pada demosi karyawan ialah apabila kegiatan
organisasi menurun, baik sebagai akibat faktor-faktor internal maupun
eksternal, tetapi tidak sedemikian gawatnya sehingga terpaksa terjadi pemutusan
hubungan kerja. Dalam hal demikian suatu organisasi memberikan pilihan kepada
para karyawannya yaitu, antara demosi dengan segala akibatnya dan pemutusan
hubungan kerja dengan perolehan hak-hak tertentu seperti pesangon yang
jumlahnya didasarkan atas suatu rumus tertentu yang disepakati bersama.
5.
Definisi Mutasi (Pemindahan)
Mutasi (pemindahan) atau transfer menurut Wahyudi (1995) adalah perpindahan
pekerjaan seseorang yang memiliki tingkat level yang sama dari posisi pekerjaan
sebelum mengalami pindah kerja. Kompensasi gaji, tugas, dan tanggung jawab yang
baru adalah sama seperti sebelumnya. Mutasi (pemindahan) atau rotasi kerja
dilakukan untuk menghindari kejenuhan karyawan atau pegawai pada rutinitas
pekerjaan yang terkadang membosankan serta memiliki fungsi tujuan lain supaya
seseorang dapat menguasai dan mendalami pekerjaan lain dalam bidang yang
berbeda di suatu perusahaan. Pemindahan ini
terkadang dapat dijadikan sebagai tahapan awal atau batu loncatan untuk
mendapatkan promosi pada waktu mendatang. Para ahli berpendapat bahwa mutase
(pemindahan) adalah proses yang secara hukum sah dilakukan dilingkungan
pemerintah.
Oleh karena itu, mutasi harus dipahami sebagai
berkah, karena dengan mutase ini, pegawai banyak diuntungkan ketika berbicara
tentang karier. Tetapi, terkadang pada pihak yang merasa nyaman dengan jabatan
dan lingkungan kerjanya, mutase adalah siksaan, serta tidak dapat dipungkiri
bahwa mutase merupakan sebuah kata yang seram ditelinga pejabat atau staff
pemerintah. Hakikatnya mutasi (pemindahan) adalah bentuk perhatian pimpinan
terhadap bawahan.
A. Tujuan Mutasi (Pemindahan)
Tujuan mutasi (pemindahan)
menurut Mudjiono (2000) adalah :
1.
Meningkatkan
produktivitas karyawan
2.
Menciptakan
keseimbangan antara tenaga kerja dengan komposisi pekerjaan atau jabatan
3.
Memperluas
atau menambah pengetahuan karyawan
4.
Menghilangkan
rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaannya
5.
Memberikan
perangsang agar karyawan mau berupaya meningkatkan karier yang lebih tinggi
6.
Alat
pendorong agar spirit kerja meningkat melalui pesaingan terbuka
7.
Menyesuaikan
pekerjaan dengan kondisi fisik karyawan
6.
Rencana
Promosi dan Pemindahan
Banyak perusahaan dalam merencanakan promosi dan pemindahan,
perusahaan seperti ini tidak dapat mempunyai pegangan / ketentuan tentang
dasar-dasar promosi atau pemindahan. Sehingga dari tahun ke tahun tidak sama
ketentuannya dasar promosi maupun pemindahan, sehingga banyak terdapat pada
unsur”-unsur subjektif.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, sebaiknya suatu perusahaan membuat rencana yang jelas unntuk suatu promosi maupun pemindahan untuk keperluan tersebut perusahaan harus menetapkan dan membuat :
Untuk menghindari hal-hal tersebut, sebaiknya suatu perusahaan membuat rencana yang jelas unntuk suatu promosi maupun pemindahan untuk keperluan tersebut perusahaan harus menetapkan dan membuat :
a.
Hubungan horizontal dan vertikal dari masing-masing jabatan
b.
Penilaian
kecakapan karyawan
c.
Ramalan-ramalan lowongan dan data pegawai
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.
M. Kadarisman. 2012. Manajemen
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Fahmi,
Irham. 2016. Pengantar Manajemen Sumber
Daya Manusia. Jakarta: Mitra Wacana Media
Husnan,
Heidjrachman Suad. 2000. Manajemen
Personalia. Yogyakarta: BPFE
Komentar
Posting Komentar